当前位置:首页 > 热点 > Suhu Nol Derajat, Bus Malam New York, dan Tekad Nyoblos di TPS 400 Km

Suhu Nol Derajat, Bus Malam New York, dan Tekad Nyoblos di TPS 400 Km

2025-05-30 14:34:48 [热点] 来源:quickq官网入口下载官方
Jakarta,quickq加速器安卓版下载 CNN Indonesia--

Malam itu, Selasa, 9 Februari 2024, saya beranjak dari Syracuse, sebuah kota di Amerika Serikat yang menjadi rumah bagi Syracuse University, kampus saya, menuju New York City. Meski sama-sama berada di New York, jarak keduanya terpaut 400 kilometer. Tengah malam di musim dingin, saya duduk di bus malam, menuju "The City that never sleeps".

Sebagai catatan, naik bus malam di New York memang biayanya lebih murah. Tapi, jam-jam malam dinilai waktu yang lebih berisiko ketika naik bus di New York, termasuk soal ancaman kejahatan. 

Suhu Nol Derajat, Bus Malam New York, dan Tekad Nyoblos di TPS 400 Km

Suhu Nol Derajat, Bus Malam New York, dan Tekad Nyoblos di TPS 400 Km

Tepat pukul 04.30 waktu New York, 10 Februari 2024, saya sampai di terminal bus Port Authority, dekat dari gemerlap Times Square. Dari sana, saya bergegas menuju Brooklyn Bridge Park untuk menikmati pagi hari di tengah dua jembatan, Manhattan Bridge dan Brooklyn Bridge, yang berdiri tegak di tengah Hudson River. 

Suhu Nol Derajat, Bus Malam New York, dan Tekad Nyoblos di TPS 400 Km

ADVERTISEMENT

Suhu Nol Derajat, Bus Malam New York, dan Tekad Nyoblos di TPS 400 Km

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hampir 8 jam berlalu, saya sampai di Sound River Studios di Queens. Sengaja saya datang menjelang tutupnya Tempat Pemungutan Suara (TPS) New York, agar tidak perlu mengantre di tengah dinginnya kota yang kala itu mencapai nol derajat Celsius. Namun ternyata, antrean masih mengular.

Sebetulnya, ada mekanisme mencoblos via pos yang memudahkan diaspora Indonesia untuk memilih. Namun, kesibukan dan lain sebagainya, sering kali membuat terlupa untuk mendaftar, seperti yang terjadi pada saya. Hanya saja, sejak awal, saya berkomitmen untuk tetap berkontribusi demi Indonesia, bagaimanapun caranya, termasuk menyisihkan sebagian dari tabungan di tengah pendidikan saya, untuk ongkos bus, serta pesawat kepulangan.

"Untuk Bapak/Ibu yang belum terdaftar, mohon bersabar, kami akan segera mempersilakan masuk, satu jam sebelum TPS ditutup," ungkap salah seorang panitia. Antrean tersebut, ratusan orang, nyatanya adalah diaspora Indonesia yang belum terdaftar.

Meski belum tentu bisa memilih karena bergantung pada sisa kertas suara yang tersedia, mereka ikhlas dan bersemangat untuk datang, berdiri, dan menunggu dengan jaket tebal dan wajah kebas akibat angin yang berhembus. Di New York memang tengah berlangsung musim dingin.

Meski dingin malam mulai datang, hati saya, yang sengaja memutuskan datang dari jauh, semata untuk tetap berkontribusi untuk negara saya, kian menghangat, melihat saudara sebangsa, penuh antusiasme untuk memilih.

Hangatnya hati menjadi penting di tengah panasnya diri, yang barang kali pernah sibuk memaki keluarga, kawan, dan kerabat, saat pilihan mereka berbeda. Lebih ekstrem lagi, hati sudah dingin, tidak lagi peduli untuk memilih bagi negeri.

Untuk sekadar melangkah ke TPS yang sejengkal dari rumah, rasanya berat, lebih menarik untuk menyelami media sosial yang saat ini berperang opini dan komentar negatif yang mengecilkan hati.

Namun, melihat antusiasme diaspora Indonesia di depan mata, rasanya optimisme tentang masa depan bangsa, masih mampu membuat saya bangga menjadi Indonesia di rantau.

Saat ini, kita sedang menunggu hasil resmi pemilihan umum. Mudah rasanya untuk patah arang, buang sauh, tutup buku tentang makna menjadi Indonesia. Tapi, bagi saya yang kini merasakan jauh dari tanah air, satu hal yang saya pegang, "Kita hanya akan mendapatkan apa yang kita cari". Jika terus dicari kekurangannya, akan selalu terlihat kurang. Jika terus diusahakan kebaikannya, akan selalu terasa baik.

Pertanyaan penting sebagai refleksi: apa yang sudah kita lakukan untuk negeri? Sudahkah kita memilih yang terbaik? Bagaimana kita sebagai individu, bertanggung jawab untuk kontribusi diri sendiri bagi negeri?

Jika jawaban dari pertanyaan tersebut bisa dengan lantang dijawab, maka beruntunglah kita. Sebab, menjadi Indonesia akan selalu mendefinisikan siapa kita. Seharusnya, pilihannya jelas, berbuat yang terbaik untuk Indonesia, siapa pun presiden dan wakil presiden terpilih. Untuk itu, hormat saya bagi para diaspora yang tetap menjadi Indonesia di rantau dan harap saya untuk masyarakat sebangsa dan setanah air di Indonesia, agar terus memilih untuk mencintai negeri.

(责任编辑:时尚)

推荐文章
热点阅读